Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, tidak percaya bahwa calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, akan membentuk pengadilan HAM ad hoc jika memenangi Pilpres 2024. Menurutnya, pasangan Prabowo-Gibran merupakan kandidat yang paling sulit menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
“Dalam debat Pilpres 2024, Prabowo terlihat yang paling tidak memiliki komitmen. Dia juga memiliki catatan masa lalu yang bermasalah,” kata Isnur kepada wartawan di Jakarta.
Seperti dalam debat pilpres lima tahunan, Prabowo kembali diserang isu HAM. Pada debat perdana Pilpres 2024, Ganjar Pranowo yang menjadi capres nomor urut 3, mengungkit dugaan keterlibatan Prabowo dalam penculikan puluhan aktivis prodemokrasi pada tahun 1997-1998.
Ganjar menanyakan apakah Prabowo akan membentuk pengadilan HAM apabila terpilih sebagai presiden sebagaimana rekomendasi DPR sejak 2009. Dia juga menanyakan apakah Prabowo bisa membantu menemukan kuburan 13 aktivis yang hilang supaya keluarga korban bisa berziarah.
Prabowo sempat menyebut pertanyaan Ganjar tendensius dan berdalih bahwa isu HAM selalu digunakan untuk menyerangnya ketika elektabilitasnya sedang tinggi. Ganjar menyebut Prabowo tak tegas dan Prabowo merespons secara emosional.
Ganjar diketahui menjadi capres yang menyatakan secara tegas akan membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dalam debat perdana, capres nomor urut 1, Anies Rasyid Baswedan, lebih banyak mengulas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Meski begitu, Isnur belum sepenuhnya yakin bahwa Ganjar dan Anies bakal menjalankan komitmen mereka untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu jika memenangi Pilpres 2024, termasuk dengan membentuk pengadilan ad hoc. “Tentu, walaupun meragukan, kita harus mendorong dan memaksa negara untuk melakukan kewajiban hukumnya,” ujarnya.
Pembentukan pengadilan HAM merupakan harapan mayoritas keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, hingga kini pemerintah tak juga membentuk lembaga peradilan yang khusus menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat.
Isnur menjelaskan upaya membentuk pengadilan HAM ad hoc selalu kandas lantaran terduga pelaku kerap berlindung di balik kekuasaan dan mendapatkan impunitas. Ia mencontohkan Wiranto yang justru dirangkul menjadi Menteri Koordinator Politik dan Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) pada periode pertama pemerintahan Jokowi.
“Kemudian Prabowo juga. Lihat saja bagaimana Jokowi memperlakukan mereka! Wiranto menjadi bagian dari timses ketika Jokowi naik. Kemudian, sekarang Prabowo menjadi menteri pertahanan. Jadi, ada kerumitan di situ yang membuat mereka (pemerintah) tidak serius menuntaskan HAM masa lalu,” kata Isnur.