Sunday, September 21, 2025

Pakar: Larangan tayangan liputan investigasi potensi ganggu peran pers

Share

- Advertisement -

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) Camelia Catharina Pasandaran menilai larangan menyiarkan liputan investigasi eksklusif dalam RUU Penyiaran berpotensi mengganggu peran pers sebagai penjaga dan pilar keempat demokrasi.

“Larangan menyiarkan liputan investigasi eksklusif berpotensi mengganggu peran pers sebagai penjaga dan pilar keempat demokrasi,” kata Camelia saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Selasa.

Menurutnya, karya jurnalis investigasi selama ini telah mengungkap kasus-kasus yang tersembunyi. Pelarangan tersebut dianggap menghalangi kebebasan pers dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.

“Pelarangan ini tentu saja menghalangi kebebasan pers untuk menyampaikan informasi yang diperlukan oleh masyarakat,” ujarnya.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers nasional. Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa pers memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Sebelumnya, Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Penyiaran DPR RI memastikan revisi UU Penyiaran tidak akan membungkam kebebasan pers di Indonesia.

“Tidak ada niat untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini,” kata anggota Panja Nurul Arifin di Jakarta, Selasa.

Komisi I DPR RI tetap terbuka untuk menerima masukan dari seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran. RUU ini masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI.

Nurul Arifin menyebut beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, seperti Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42, yang memberikan wewenang pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.

Selain itu, Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang melarang tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

“RUU yang sedang dibahas bukanlah produk final, sehingga masih dimungkinkan terjadinya perubahan dalam RUU Penyiaran,” katanya.

Dikatakan juga bahwa RUU Penyiaran ini merupakan perubahan kedua dari UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. RUU ini sudah digulirkan sejak 2012, namun dengan perkembangan teknologi saat ini, dibutuhkan penguatan regulasi penyiaran digital terutama layanan over the top (OTT) dan user generated content (UGC).

Source link

Baca Lainnya

Berita Terbaru