Penularan tuberkulosis (TBC) perlu diperhatikan, mengingat penyakit ini bisa menyebar melalui udara saat seseorang batuk, bersin, atau meludah. Menurut Global Tuberculosis Report 2024 dari WHO, sekitar 5-10% orang yang terinfeksi TBC dapat mengalami gejala dan berkembang menjadi penyakit TBC. Hal ini menunjukkan bahwa TBC masih menjadi permasalahan kesehatan global yang serius, dengan estimasi 10,8 juta orang sakit TBC pada tahun 2023. Indonesia sendiri menempati peringkat kedua di dunia dengan 1.090.000 kasus TBC baru setiap tahun dan 125.000 kematian akibat TBC.
Sekretaris Ditjen Penanggulangan Penyakit Kementerian Kesehatan RI, dr. Yudhi Pramono, MARS, menjelaskan bahwa semua orang berisiko tertular TBC, namun ada kelompok masyarakat yang memiliki risiko lebih tinggi. Orang yang memiliki kontak serumah atau kontak erat dengan pasien TBC, orang dengan HIV, perokok, orang dengan diabetes melitus, bayi, anak-anak, lansia, warga binaan pemasyarakatan, tunawisma, pengungsi, dan masyarakat yang tinggal di permukiman padat dan miskin termasuk dalam kelompok risiko tinggi tertular TBC.
Percikan (droplet) bakteri TBC dapat bertahan beberapa jam di ruangan lembap yang tidak terpapar sinar matahari. Ketika percikan tersebut dihirup oleh orang lain, terutama mereka yang memiliki kontak erat dengan pasien TBC, risiko penularan semakin tinggi. Mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab TBC, dapat berada dalam kondisi aktif atau tidak aktif dalam tubuh seseorang. Investigasi kontak dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menemukan kasus TBC secara dini, dengan minimal 8 orang diperiksa untuk setiap kasus TBC sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/C/2175/2023. Ini merupakan strategi penting dalam program penanggulangan TBC untuk melacak orang-orang yang berinteraksi langsung dengan pasien TBC dan memberikan pelayanan yang dibutuhkan.