Jakarta, 19 Mei 2024
Pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci membutuhkan ketahanan fisik yang kuat. Selama menjalankan ibadah haji, para jemaah sebaiknya dapat menyesuaikan aktivitas ibadah sunah. Penyesuaian ini untuk mencegah jemaah mengalami kelelahan, terutama menjelang pelaksanaan puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Penyesuaian aktivitas ibadah sunah juga bertujuan melindungi jemaah haji terhindar dari sakit atau terkena penyakit yang lebih berat. Apalagi, jemaah yang mempunyai penyakit penyerta (komorbid) harus senantiasa mengontrol penyakitnya.
Kepala Pusat Kesehatan (Puskes) Haji Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Liliek Marhaendro Susilo, Ak M.M mengatakan, 76% dari total 241.000 jemaah haji yang berangkat pada 2024 mempunyai komorbid. Karena itu, diperlukan edukasi supaya jemaah haji dapat mengendalikan aktivitas ibadahnya.
“Sekarang ini, dari semuanya (jemaah haji) berangkat, 76 persen memiliki riwayat penyakit. Yang paling banyak, yaitu dislipidemia, kolesterol tinggi. Yang kedua, hipertensi. Ketiga, diabetes melitus, gula darahnya tinggi. Keempat, jantung. Kelima, lambung, gastritis,” kata Liliek di Jakarta,
“Keenam, pneumonia. Pneumonia kebanyakan juga dapat timbul di sana karena cuaca panas dan kondisi kelelahan. Makanya, promotif preventif kami galakkan. Di Makkah, ada 11 sektor (region), yang mana tiap sektor terdapat tenaga promosi kesehatan. Mereka diminta fokus mengendalikan aktivitas jemaah tersebut.”
Dengan aktivitas jemaah haji yang terkendali, Liliek berharap, tubuh mereka bugar dan sehat ketika tiba saatnya ibadah Armuzna,
“Ini bentuk kami melindungi jemaah haji kita supaya tidak sakit. Kalaupun sakit, jangan sakit yang berat-berat. Jangan sampai mereka kelelahan dan timbul penyakit yang lebih berat dan akhirnya terjadi yang hal yang tidak kita inginkan,” ucapnya.
“Aktivitas ibadah sunah tentu menyesuaikan ya. Yang kami harapkan, jemaah jangan sampai kelelahan pada saat menjelang Armuzna. Harapannya, masa Armuzna itu para jemaah sehat dan bugar.”
Para jemaah haji pun perlu mengetahui batas kemampuannya masing-masing agar tidak sampai kelelahan. Hal ini mengingat jarak antara hotel tempat menginap dan masjid mungkin jauh sehingga membutuhkan waktu untuk berjalan kaki bila tidak ada bus.
“Di sana, aktivitas bisa jadi lebih banyak. Keluar dari lingkungan hotel sendiri, mau ke lobi itu jauh. Dari lobi, akses ke tempat bus, mau ke masjid, misalnya, itu jalan kaki ya, 200, 300, 400 meter, baru naik bus. Kalau tidak ada bus di sana ya jalan kaki, dari hotel menuju masjid bisa 1 kilometer, 2 kilometer,” lanjut Liliek.
“Kalau tiap hari dilakukan di tengah cuaca panas seperti itu, bagi jemaah yang sudah terbiasa gerak, ya, memang tidak masalah, tapi biasanya lelah. Tapi bagi yang tidak pernah gerak, tiba-tiba diforsir seperti itu, bagaimana nanti. Nah, ini yang perlu kita kendalikan. Kami tidak melarang ibadah sunah, tapi tolonglah jaga, supaya jangan sampai kelelahan.
*Beri Kesempatan untuk Istirahat*
Kapuskes Liliek juga mengingatkan, aktivitas ibadah yang dilakukan jemaah haji sebaiknya tetap didampingi oleh tenaga kesehatan.
“Ada tenaga kesehatan mendampingi 24 jam. Misalnya, ada aktivitas ke mana, ya, mereka mesti ikut mendampingi. Yang kami minta memang begitu, satu kloter terbagi dari beberapa Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH), biasanya acara mereka beda-beda,” ujarnya.
“Bagaimana caranya supaya diatur. Tapi yang jelas tetap harus ada yang mendampingi, jangan sampai jemaah ditinggalkan.”
Liliek turut mengingatkan kepada para calon jemaah haji yang hendak berangkat pada kesempatan berikutnya dapat beristirahat dengan cukup. Apabila keluarga ingin menggelar doa bersama dan silaturahmi dengan mengundang tamu ke rumah, sebaiknya dilakukan jauh-jauh hari.
“Silaturahmi, memberikan doa itu bagus, tetapi lakukanlah itu kalau bisa jauh-jauh hari sebelumnya. Kalau sudah mau berangkat, mau masuk asrama haji, kasih kesempatan buat calon jemaah untuk istirahat supaya mereka juga tidak lelah dalam perjalanan,” terangnya.
“Misalnya, dia sudah lelah di perjalanan, di pesawat mereka takut menggunakan fasilitas, tidak berani buang air kecil. Tidak berani makan. Kalau nanti minum, ke toilet terus. Toiletnya susah. Kalau makan, takut buang air besar. Nanti bagaimana caranya? Tidak tahu caranya. Akhirnya, mereka menahan untuk tidak makan, tidak minum di pesawat. Turun di sana, sakit. Itu yang mesti kita cegah agar hal itu tidak terjadi.”
Periksa Kesehatan ke Klinik Satelit
Adapun, fasilitas pelayanan kesehatan untuk jemaah haji Indonesia sudah dipersiapkan matang. Tim kesehatan tersebar di 16 sektor (region), baik di Makkah (11 sektor) maupun Madinah (5 sektor). Tiap sektor memiliki tenaga kesehatan, yakni dokter, perawat, dan tenaga promosi kesehatan.
“Jadi, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) bidang kesehatan di Arab Saudi itu ada pos kesehatan di bandara, pos kesehatan sektor, dan ada Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) yang ada di Makkah maupun Madinah. Itu jumlahnya 287 orang,” kata Kapuskes Liliek.
Selain itu, untuk makin mempermudah akses layanan kesehatan terhadap jemaah haji, Puskes Haji Kemenkes mendirikan pos kesehatan satelit atau klinik kesehatan satelit. Pos kesehatan satelit ini berada di tiap hotel di Makkah.
“Kalau di Makkah itu, hotelnya besar-besar. Selama musim haji digunakan oleh Indonesia dan fasilitas yang ada di hotel diserahkan kepada Indonesia untuk dipakai. Dengan kondisi itu, kami dapat mendirikan pos kesehatan satelit di setiap hotel. Bayangkan, setiap hotel bisa dihuni sekian kloter serta 30 orang tenaga kesehatan mencakup 10 dokter dan 20 perawat. Mereka inilah yang nanti kami tugaskan mengelola klinik kesehatan satelit di hotel,” kata Liliek.
Klinik kesehatan satelit mulai dioperasionalkan sejak penyelenggaraan ibadah haji tahun 2023. Kemudian, kembali beroperasi pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.
Lilik menceritakan latar belakang berdirinya klinik kesehatan satelit di hotel. Sebelum ada klinik satelit, petugas kesehatan yang di kloter melayani kesehatan jemaah di kamarnya sendiri.
“Kamar petugas kesehatanlah yang difungsikan sebagai klinik. Jadi, jemaah haji yang sakit itu datang ke kamar. Adanya klinik satelit ini, ya, Alhamdulillah, ada ruangan meja periksa, ada kamar untuk jemaah bisa berbaring, tersedia minimal 4 tempat tidur (bed), tapi ada juga hotel yang menyediakan kapasitasnya sampai 20 bed,” tuturnya.
Klinik kesehatan satelit ditempatkan secara strategis, yakni selalu dilewati para jemaah haji ketika lalu-lalang dari hotel ke masjid.
“Jemaah kita lalu-lalang dari hotel ke arah masjid. Nah, kami rekomendasikan didirikan klinik satelit ini adalah tempat di mana jemaah lalu-lalang, kalau mau masuk dan keluar. Kami imbau kepada jemaah adalah kalau mau keluar masjid merasa badannya kurang nyaman, periksa dulu ke klinik,” ungkap Liliek.
“Nanti sama petugas kesehatannya direkomendasikan, boleh atau tidak buat keluar dari hotel. Kalau ternyata hasilnya tidak memungkinkan, maka yang kami rekomendasikan, ya, tidak usah keluar, tapi istirahat di hotel dulu. Kalau mau salat, di setiap hotel di Makkah sudah ada masjid sehingga kami rekomendasikan, ibadahnya di masjid hotel saja.”
Bagi jemaah yang sudah melakukan aktivitas dari luar hotel, ketika masuk ke hotel dapat memeriksakan kesehatannya ke klinik kesehatan satelit jika merasa kurang enak badan.
“Demikian juga kalau jemaah habis aktivitas dari luar hotel, nanti begitu masuk hotel (badan) kurang nyaman, langsung datanglah ke klinik, nanti diperiksa di situ,” pungkas Kapuskes Liliek.
“Kalau kita lihat tahun lalu, ba’da subuh, ba’da zuhur sama ba’da isya itu di klinik ramai dengan jemaah haji. Antusiasnya tinggi.”
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620 dan alamat email kontak@kemkes.go.id
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid