Home Kesehatan Berdamai dengan Inner Child – Sehat Negeriku

Berdamai dengan Inner Child – Sehat Negeriku

0

Setiap orang memiliki inner child, sisi anak kecil dalam diri kita. Trauma masa lalu kadang perlu ditangani dengan terapi tertentu dan bantuan orang lain.

Inner child merupakan sosok anak kecil yang ada dalam diri seseorang. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh psikolog Swiss, Carl Jung. “Kalau kita merasa sudah dewasa tapi masih terasa seperti anak kecil, mungkin sisi anak kecil dalam diri kita masih ada,” kata psikolog Samanta Elsener dalam Siaran Sehat di Radio Kesehatan pada 12 Februari 2024.

Seiring perkembangan ilmu psikologi dari berbagai literasi dan penelitian, muncul istilah baru inner child trauma. Kondisi ini menunjukkan bahwa seseorang memiliki isu traumatis dari masa kecil yang belum diselesaikan atau masih belum bisa berdamai dengan hal tersebut. Trauma ini kemudian dapat mengganggu kehidupan sehari-harinya hingga dewasa.

“Inner child trauma bisa bermacam-macam. Tidak hanya terkait dengan peran orang tua atau pengalaman di rumah, tapi juga bisa terkait dengan apa yang dialami di sekolah,” ujar Samanta. Contohnya, jika seseorang pernah mengalami perundungan (bullying) di sekolah, maka di masa dewasa mungkin ia belum bisa memaafkan pengalaman tersebut sehingga kemampuannya dalam berinteraksi sosial menjadi sulit.

Menurut Carl Jung, semua orang memiliki inner child. Ini sebanding dengan sifat heroik yang tertanam dalam diri seseorang, seperti keinginan untuk menolong, berbuat baik, dan menunjukkan sikap altruisme. Namun, tidak semua orang memiliki inner child trauma.

Menurut Samanta, trauma adalah hal yang sangat subjektif. Ada anak yang baru menyadari bahwa mereka memiliki trauma saat sudah dewasa. Misalnya, seseorang mengalami pelecehan seksual saat berusia lima tahun tapi tidak menyadari bahwa itu adalah perilaku yang salah. Ketika tumbuh dewasa dan mulai belajar tentang psikologi dan kesehatan mental, secara tidak sadar mereka mengingat kembali peristiwa tersebut dan menyadari bahwa mereka memiliki trauma. “Bisa jadi inner child trauma sudah menjadi kebiasaan dalam perilaku mereka namun mereka tidak menyadari mengapa mereka berperilaku seperti itu.”

Trauma juga dapat dikenali dari sensasi fisik, seperti rasa tidak nyaman, berkeringat tangan, dan sebagainya. Contohnya adalah sikap antipati terhadap lawan jenis. Setiap kali berdekatan dengan lawan jenis, seseorang tersebut merasa tidak nyaman dan menolak untuk menjalin hubungan atau menikah.

Jika ditelusuri lebih lanjut dengan konseling dan psikoterapi, ternyata orang tersebut memiliki trauma masa kecil, misalnya karena salah satu orang tua mereka meninggal secara mendadak dan rasa duka dalam diri mereka belum teratasi. “Bagi mereka, lawan jenis bisa mengingatkan mereka pada masa duka. ‘Aduh, kalau nanti tiba-tiba ditinggal bagaimana, ya?’ Rasanya sedih sekali,” ungkap Samanta.

Konsep inner child juga terkait dengan harapan-harapan di masa kecil yang belum tercapai. Misalnya, orang tua kita dulu tidak mampu membelikan video game. Ketika kita sudah dewasa dan mampu, kita akan membeli video game dan memainkannya hingga lupa waktu. Hal ini disebut sebagai reparenting atau memberi kebutuhan kepada inner child yang belum terpenuhi.

Menyadari inner child dalam kehidupan sangat penting, termasuk bagi pasangan yang akan menikah. Samanta menyarankan pasangan untuk melakukan sesi konsultasi sebagai persiapan sebelum menikah. Hal ini diperlukan agar mereka memahami karakter masing-masing dan mencegah konflik dalam hubungan pernikahan yang dapat mewariskan inner child yang belum terselesaikan kepada keturunan mereka.

“Generasi Z sudah paham hal ini. Sebelum menikah, mereka mau melakukan konsultasi untuk memahami potensi konflik dan belajar cara berkomunikasi yang baik dengan pasangan,” kata Samanta.

Bahkan, menurut Samanta, generasi Z rela menabung untuk sesi konsultasi dengan psikolog karena merasa sangat membutuhkan. Mereka berkomitmen untuk memutus mata rantai inner child dan trauma agar dapat mengubah hidup mereka.

Bagi inner child yang tidak terluka, reparenting bisa menjadi salah satu teknik untuk berdamai dengan inner child dalam diri kita. Identifikasi terlebih dahulu dengan berkonsultasi pada psikolog. Jika emosi anak-anak yang belum terselesaikan ini disebabkan orang tua yang tidak ada saat dibutuhkan, maka fokus pada emosi tersebut terlebih dahulu. Kemudian lakukan reparenting dengan self-talk, mengajarkan diri sendiri untuk percaya kembali.

Samanta menekankan agar orang tidak takut untuk melakukan check up terkait kesehatan mental mereka. “Jangan hanya mengandalkan literasi yang beredar, kita tidak bisa melakukan self-diagnosa karena akan berbahaya dan bisa membuat kita merasa sebagai korban dan sulit untuk mencapai cita-cita kita.”

Penulis: Redaksi Mediakom

Source link

Exit mobile version