Sunday, December 8, 2024

National Strategic Challenge: Jakarta-Centric Economy

Share

Oleh: Prabowo Subianto [dikutip dari “Transformasi Strategis Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045”, hlm. 89-90, edisi softcover keempat]

Selain koefisien Gini, indikator ketimpangan ekonomi di Indonesia adalah distribusi geografis aktivitas ekonomi atau perputaran uang di dalam negeri.

Pada tahun 2020, PDB Indonesia mencapai USD 1,058 triliun, sekitar Rp 15.300 triliun dengan kurs Rp 14.500 per USD.

Menariknya, sekitar 70% dari aktivitas ekonomi ini, dengan total Rp 15.300 triliun, terpusat di Jakarta. Mayoritas sisanya berputar melalui kota-kota besar lain seperti Surabaya, Medan, dan Semarang, dengan jumlah yang minim di desa-desa di Indonesia, terutama terpusat di pulau Jawa.

Baru-baru ini saya meninjau laporan dari Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mengenai simpanan bank di seluruh Indonesia. Pada September 2023, total simpanan mencapai Rp 8.205 triliun.

Menariknya, 52% dari simpanan tersebut berada di cabang bank di Jakarta, meskipun penduduk Jakarta hanya mewakili 3,9% dari total penduduk Indonesia. Rata-rata simpanan per akun di Jakarta jauh lebih tinggi, yaitu Rp 402 juta, dibandingkan rata-rata nasional Rp 29 juta per akun.

Konsentrasi ekonomi di Jakarta dan di pulau Jawa memiliki dampak langsung pada kesejahteraan rakyat Indonesia. Infrastruktur seperti jalan, kereta api, dan pasokan listrik relatif kurang memadai di daerah pedesaan dan di luar Jawa.

Misalnya, di kampung halaman saya di Sulawesi Utara, masih sering terjadi pemadaman listrik berlangsung 6-12 jam pada tahun 2019.

Masalah yang sangat mendesak yang memerlukan tindakan segera adalah gizi. Di NTT, dua dari tiga anak menderita stunting akibat kekurangan gizi – sebuah eufemisme untuk kelaparan ekstrem.

Di Jakarta, tingkat kekurangan gizi memengaruhi satu dari setiap tiga anak – sebuah kontras tajam dengan siluet kota yang dipenuhi dengan gedung pencakar langit dan hotel mewah.

Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa satu dari tiga orang Indonesia kekurangan kesempatan yang sama untuk sukses. Anak-anak yang kekurangan gizi menghadapi tantangan signifikan di sekolah dan tidak mungkin mendapatkan pekerjaan yang memberi pendapatan tinggi sebagai orang dewasa, yang memperpanjang siklus kemiskinan.

Source link

Baca Lainnya

Berita Terbaru