Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia, Teguh Santosa menyatakan bahwa di Indonesia, kebebasan berbicara saat ini menghadapi potensi ancaman. Menurut Teguh, ancaman tersebut muncul setelah seseorang melakukan pembicaraan, bukan saat sedang berbicara.
Karena itulah, aktivis dan warga yang kritis sering menggunakan istilah yang berfungsi untuk menyamarkan pendapat mereka. Menurutnya, masalah kebebasan berbicara juga ditandai dengan munculnya banyak buzzer anonim di dunia digital, meskipun ada juga buzzer yang menggunakan akun asli. Istilah seperti Wakanda dan Konoha juga muncul, yang menggambarkan bahwa kondisi saat ini tidak menguntungkan bagi siapa pun yang menyinggung tokoh yang dianggap merakyat dan populis.
Teguh menilai bahwa kondisi ini tak lepas dari demokrasi liberal. Menurutnya, setelah reformasi, semua aspek diliberalisasi, termasuk politik. Dari liberalisasi politik tersebut, sosok Joko Widodo muncul sebagai sosok yang dianggap populis dan berlawanan dengan para penguasa di masa sebelumnya yang elitis. Namun, demokrasi tidak mengenal Satria Piningit. Dalam demokrasi, semua orang harus memberikan catatan rekam jejaknya yang jelas.
Kondisi ini muncul karena banyak pihak menganggap bahwa Orde Baru sudah selesai setelah Soeharto lengser dari kursi kepresidenan pada tahun 1998. Setelah itu, pemilu 1999, pemilihan presiden langsung 2004, dan pilkada langsung dianggap sebagai obat bagi kehidupan bernegara. Capres Koalisi Perubahan, Anies Rasyid Baswedan juga sempat menyinggung soal Wakanda dalam penutupan debat perdana capres di halaman kantor KPU, beberapa waktu lalu dengan mengucapkan “Wakanda No More, Indonesia Forever.”