Sunday, September 21, 2025

GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

Share

- Advertisement -

Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, dan teliti. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi. Setiap hari dia tiba di kantor tepat pukul 08:00 pagi. Keistimewaan dia adalah tulisan rapi dan ingatannya yang kuat, yang juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Dia juga sangat pandai dengan angka. Dia adalah pembaca yang rajin juga. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun dia sendiri tidak pernah berpendidikan di luar negeri. Dia selalu tersenyum. Dia jarang marah atau terlihat marah. Ketika dia marah, dia akan diam. Dan dia tidak suka berbicara dengan orang yang marah. Ini adalah beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Saat itu, saya adalah seorang kapten dan pernah melakukan operasi di Timor Timur dua kali. Yang pertama pada tahun 1976 ketika saya adalah Komandan Satuan Tugas Grup 1 KOPASSANDHA (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infantri Yunus Yosfiah. Yang kedua pada tahun 1978, saat saya menjadi Komandan Kompi Para-Commando dengan sandi Chandraca 8. Pasukanku saat itu adalah kompi pasukan serbu yang langsung di bawah pimpinan komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Infantri Kolonel R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Tengah Infantri Letnan Kolonel Sahala Rajagukguk. Pada saat itu, Kolonel Infantri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan Brigif Linud 18 KOSTRAD sebagai intinya. Sementara Letnan Kolonel Infantri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur 6 (RTP 6), dengan Brigif Infantri 6 KOSTRAD sebagai intinya. Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, tepat waktu, dan teliti. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi. Dia tiba di kantornya tepat pukul 08:00 pagi. Pukul 01:00 siang, dia akan pulang ke rumah untuk makan siang. Di sore hari, dia akan bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pada pukul 19:00 dari Senin hingga Jumat, dia akan menerima tamu. Dia akan makan malam pada pukul 21:00. Kemudian pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, dia masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat kecil. Meja kerjanya juga sangat kecil. Memang, jika kita membandingkannya dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidurnya bukan kamar mandi dalam. Itulah mengapa ruang kerjanya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan file di mejanya yang bisa mencapai ketinggian 40-50 sentimeter. Saya dengar dari ajudannya bahwa setidaknya ada 40 folder dan surat yang dia baca dan tandatangani setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada Sabtu malam, kita tidak akan menemukannya di mejanya. Saya sering melihatnya bekerja sampai pukul 01:00 atau bahkan 02:00 pagi. Sementara itu, dia akan bangun pukul 04:30 pagi atau pukul 05:00 yang terlambat. Kadang-kadang dia hanya tidur 3-4 jam. Ini berlangsung selama puluhan tahun. Kita hanya bisa membayangkan betapa rajin dan telitinya dia. Ciri khas lainnya adalah tulisan tangannya yang rapi dan ingatan fotografinya. Dia juga sangat pandai dengan angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja diangkat sebagai Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi menemui dia. Dia kemudian menceritakan kepada saya dengan panjang lebar dan detail pengalamannya dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun sebuah batalyon tempur. Dia menceritakan pengalaman-pengalamannya sebagai Pemimpin Regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Dia berbagi banyak teknik dan praktik praktis serta hal-hal yang sangat spesifik. Dia bahkan bisa mengingat tingkat pendidikan dari setiap bawahannya yang dulu. Saya tercengang mendengarkannya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak dia meninggalkan Tentara dan 35 tahun setelah tugas-tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat, pabrik kereta api hingga isu politik luar negeri, dan yang tidak pernah memimpin batalionnya selama puluhan tahun, bisa masih sangat jelas mengingat pembentukan, rekrutmen dan pelatihan unit-unit militer di level regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang dia bagikan kepada saya ketika saya menjadi Komandan Batalyon 328. Itulah yang membuat Batalyon 328 sangat handal dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon terbaik selama bertahun-tahun. Juga karakteristiknya adalah bahwa dia sangat memahami filsafat Jawa dan sejarah nusantara. Pak Harto banyak mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran-ajaran kuno dan filsafat Jawa. Hal ini dimengerti karena semua pendidikannya berlangsung di Indonesia, di kampung halamannya Desa Kemusuk di Yogyakarta. Kebanyakan bacaannya berasal dari para ulama Jawa dari abad-abad terdahulu. Filsafat yang paling sering dia ajarkan adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; selain ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang dia terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat bermanfaat. Itu adalah kumpulan ajaran, maksim, dan pepatah. Buku yang dia tulis sangat penting untuk memahami jiwa Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukan hanya slogan semata. Bagi banyak orang, itu menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk kehidupan bahagia di dunia ini. Itu juga panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, itu menjadi suara kebijaksanaan yang diwariskan selama berabad-abad. Oleh karena itu, siapa yang mengikuti ajaran ini bisa menggunakan kebijaksanaan dari nenek moyang kita, leluhur kita dan para tua kita. Saya ingin menceritakan satu kejadian ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melakukan operasi di Timor Timur. Satu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke rumahnya di Jalan Cendana. Saya memberi tahu bawahanku bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Sudah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima Tertinggi memanggil seseorang sebelum mereka melakukan misi, Pak Harto akan memberikan mereka sangu atau bantuan keuangan khusus. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8:30 malam. Setelah menerima tamu, dia bertemu saya dan bertanya apakah benar saya akan melakukan operasi besok. Saya menjawab ya. Lalu dia berkata kepada saya, ‘Saya hanya memiliki tiga pesan untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Simpan dalam hati kamu!’ Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut meletakkan tangan di kepalaku sebagai tanda berkat, seperti yang selalu dia lakukan kepada anak-anaknya, cucunya, dan orang-orang yang dia cintai, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kita sebut ruang Yudha, ruang perang. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya menceritakan kepada mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberitahu mereka bahwa, sesaat, saya juga terkejut dan sedikit kecewa. Karena daripada menerima dana, saya hanya diberi tiga pesan. Namun, selama perjalanan satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya memikirkan tiga pesan yang diberikan oleh seorang Komandan yang tumbuh di medan tempur. Pak Harto adalah inisiator dan pelaksana Serangan Umum 1 Maret yang berhasil mengambil kembali kendali Yogyakarta selama enam jam pada akhir 1948. Bahkan, saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Dia juga terlibat dalam berbagai operasi penumpasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Dia juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Dia juga merupakan tokoh kunci dalam menggagalkan pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai Panglima Tertinggi dengan pengalaman tempur yang luas, nasihat Pak Harto tentunya harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo…

Source link

Baca Lainnya

Berita Terbaru