Sunday, October 20, 2024

WHO Dorong Pergeseran Respons Pengendalian Malaria – Sehat Negeriku

Share

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan strategi operasional baru dalam pengendalian malaria di seluruh dunia. Penanganan malaria sempat melambat sejak tahun 2017.

Menyambut Hari Malaria Sedunia pada 25 April 2024, Program Malaria Global WHO menerbitkan strategi operasional baru dalam dokumen “Global Technical Strategy for Malaria 2016-2030”, yang merinci prioritas dan kegiatan utama untuk mengubah tren malaria dengan tujuan mencapai target program malaria global. “Pergeseran respons global terhadap malaria sangat diperlukan diseluruh ekosistem malaria untuk mencegah kematian yang dapat dihindari dan mencapai target strategi malaria global WHO,” kata Daniel Ngamije, Direktur Program Malaria Global WHO, dalam pernyataan WHO pada Rabu, 24 April 2024. “Pergeseran ini harus berfokus pada akar penyebab penyakit dan berpusat pada aksesibilitas, efisiensi, keberlanjutan, kesetaraan, dan integrasi.”

Di awal abad ke-21, merupakan era “keemasan” dalam perjuangan global melawan malaria. Antara tahun 2005 dan 2014, investasi global untuk pengendalian malaria meningkat dari US$ 960 juta menjadi US$ 2,5 miliar per tahun. Pada tahun 2008, Roll Back Malaria (RBM) mengeluarkan Rencana Aksi Malaria Global, cetak biru pertama yang komprehensif untuk pengendalian dan eliminasi malaria global. RBM adalah platform global untuk koordinasi melawan malaria yang dijalankan oleh Kantor Pelayanan Proyek PBB (UNOPS) di Jenewa, Swiss, yang memobilisasi tindakan dan sumber daya serta membentuk persetujuan di antara mitra WHO, seperti UNICEF, UNDP, dan Bank Dunia.

RBM menetapkan tujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat malaria sebesar 50 persen dan mencapai eliminasi malaria di 8-10 negara pada tahun 2010 dibandingkan dengan data dasar pada tahun 2000. Rencana tersebut juga bertujuan untuk mencapai hampir tidak adanya kematian yang dapat dicegah pada tahun 2015. Keberhasilan di awal tahun 2000-an dan pertengahan tahun 2010-an mendorong ambisi untuk menetapkan target global untuk mengakhiri epidemi malaria dan penyakit menular lainnya pada tahun 2030.

Namun, respon global terhadap malaria telah melambat sejak tahun 2017, terutama di negara-negara dengan beban penyakit yang tinggi, terutama di Afrika Sub-Sahara, dan pandemi COVID-19 telah membuat tantangan semakin bertambah. Menurut WHO, pada tahun 2022, diperkirakan ada 608 ribu kematian terkait malaria dan 249 juta kasus malaria baru di seluruh dunia, dengan anak-anak di Afrika menjadi kelompok yang paling terpukul oleh penyakit tersebut.

Menurut WHO, respons global terhadap malaria dipengaruhi oleh berbagai faktor biologis, teknis, keuangan, sosio-ekonomi, politik, dan lingkungan, yang sebagian besar berkembang seiring berjalannya waktu, seperti kemiskinan, penggunaan lahan, konflik, perubahan iklim, pertumbuhan populasi, gender, tempat tinggal, dan lain-lain. Misalnya, Afrika, yang memiliki populasi yang cepat berkembang, menjadi negara dengan beban penyakit malaria yang paling tinggi. Dampak dari peningkatan pertumbuhan penduduk bisa diimbangi dengan urbanisasi karena tingkat penularan umumnya lebih rendah di kota-kota. Namun, munculnya Anopheles stephensi, spesies nyamuk yang teradaptasi untuk hidup di perkotaan, menjadi tantangan yang semakin besar. Pertumbuhan populasi juga mengubah pola penggunaan lahan di wilayah tersebut, yang berdampak pada habitat alami nyamuk vektor malaria.

Selain itu, lingkungan saat ini juga mengalami perubahan akibat perubahan iklim, yang menimbulkan variasi suhu dan kelembapan dalam jangka panjang, perubahan musim, dan kejadian cuaca ekstrem yang semakin sering dan ekstrem, yang semuanya berpotensi mempengaruhi kasus malaria. Perubahan iklim jelas akan mempengaruhi aspek-aspek penting dalam kehidupan, nutrisi, keamanan, dan akses serta penggunaan layanan masyarakat sehingga meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap infeksi malaria dan penyakit serius lainnya.

Kerentanan dalam mencapai eliminasi malaria ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara upaya pengendalian malaria dan kinerja sistem kesehatan secara keseluruhan. Negara-negara dan komunitas kesehatan global perlu bekerja lebih keras untuk kembali menuju dunia bebas malaria. Tujuan kesehatan universal WHO menjanjikan akses pengendalian malaria yang lebih merata, terjangkau, dan berkelanjutan, serta strategi lainnya untuk mengurangi beban penyakit yang terkait dengan kemiskinan.

Dalam hal ini, Program Malaria Global WHO dan jaringan yang terlibat dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit ini di seluruh dunia harus melakukan tindakan langsung, dengan kehadiran di 150 negara. Program ini bertujuan membentuk ekosistem malaria dan mencapai dampak yang signifikan di tingkat negara.

Perubahan dalam respons global terhadap malaria serta fokus strategis Program Malaria Global sangat diperlukan untuk mengatasi akar penyebab tren epidemi saat ini. Mengatasi kesenjangan pendanaan membutuhkan penggunaan sumber daya yang ada dengan efisiensi dan kemajuan yang dicapai harus mendorong pihak-pihak baru untuk terlibat dalam respons terhadap malaria. Dukungan politik yang kuat diperlukan di negara-negara dengan beban malaria yang signifikan untuk memanfaatkan pendanaan dalam negeri yang akan mendorong perubahan dan menciptakan dampak yang berkelanjutan dan merata. Komitmen politik juga diperlukan di negara-negara yang bergerak menuju eliminasi malaria karena manfaat dari eliminasi tersebut akan sangat besar. Agar tetap efektif dan dapat mendukung perubahan arah dalam pemberantasan malaria dalam konteks kesehatan global yang berubah cepat, Program Malaria Global harus menyempurnakan fokusnya dan menyesuaikan cara kerjanya saat ini di tingkat global, regional, dan negara.

Kementerian Kesehatan Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2023, Indonesia masih menempati posisi kedua terkait jumlah kasus malaria tertinggi di Asia, setelah India. World Malaria Report 2023 menunjukkan bahwa Indonesia berkontribusi sekitar 94 persen kematian akibat malaria di wilayah Asia Tenggara milik WHO, meskipun terjadi penurunan angka kasus malaria sebanyak 25 ribu kasus dibandingkan tahun 2022.

Kementerian Kesehatan RI memastikan bahwa pencapaian program malaria saat ini berada pada jalur yang tepat, yang dibuktikan dengan telah tercapainya target eliminasi malaria di kabupaten/kota sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Hingga 2023, 389 dari target 385 kabupaten/kota telah mencapai eliminasi malaria. Bahkan, hingga Maret 2024, jumlahnya terus meningkat menjadi 393 dari target 405 kabupaten/kota.

Meskipun demikian, upaya pemberantasan malaria akan semakin menantang karena daerah yang belum mencapai eliminasi merupakan wilayah yang masih endemis malaria, terutama di kawasan timur Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2023, wilayah timur Indonesia menyumbang 80 persen kasus malaria di tingkat nasional, terutama di Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.

Pemerintah daerah dapat melakukan intervensi untuk mengendalikan laju kasus malaria dengan meningkatkan surveilans melalui keterlibatan analis, bidan, dan dokter. Pemerintah daerah juga dianjurkan untuk melakukan mass blood survey (MBS) dan indoor residual spraying (IRS) di wilayah dengan tingkat endemis yang tinggi serta melibatkan kader malaria untuk pemantauan situasi. Kementerian Kesehatan juga mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya menyelidiki epidemiologi penyakit malaria di lingkungan sekitar mereka.

Kementerian Kesehatan telah menetapkan lima provinsi sebagai daerah percontohan dalam pemberantasan malaria, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Bali. Pada peringatan hari malaria sedunia pada tahun 2023 di Titik Nol Ibu Kota Nusantara, Kementerian Kesehatan memberikan sertifikat bebas malaria kepada 30 kabupaten/kota yang berhasil mencapai eliminasi malaria pada tahun tersebut.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dan capaian program eliminasi malaria saat ini sejalan dengan prinsip kesetaraan yang menjadi dasar dari strategi operasional baru WHO. Dengan demikian, terbuka peluang besar bagi Indonesia untuk mencapai target kunci dalam strategi global WHO pada tahun 2030.

Penulis: Tim Redaksi Mediakom

Source link

Baca Lainnya

Berita Terbaru