Polisi sering kali harus bertindak untuk menjaga keamanan dan ketertiban saat unjuk rasa berlangsung. Mereka menggunakan berbagai taktik, termasuk penggunaan gas air mata, meriam air, dan peluru. Peluru yang digunakan tidak selalu tajam, tetapi juga dapat berupa peluru karet yang dianggap sebagai senjata non-matian. Meskipun begitu, peluru karet tetap dapat menimbulkan luka serius atau bahkan kematian jika digunakan dengan tidak tepat.
Peluru karet terdiri dari bahan karet atau plastik keras yang ditembakkan seperti peluru tajam. Karena karakteristiknya sebagai isolator panas, kecepatan peluru lebih rendah dan penetrasi tidak sekuat peluru logam. Peluru karet pertama kali digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1960-an untuk menghadapi demonstran anti-perang Vietnam dan terus dikembangkan. Meskipun sering diarahkan ke bagian tubuh bawah, seperti kaki, peluru ini masih memiliki potensi luka serius.
Berbeda dengan peluru karet, peluru tajam terbuat dari logam, biasanya kuningan, dan memiliki daya penetrasi tinggi yang berpotensi mematikan. Penggunaan peluru tajam oleh polisi umumnya jarang terjadi karena risiko besar yang ditimbulkannya. Dalam pengendalian kerusuhan, peluru karet lebih umum digunakan karena tidak mematikan.
Meski peluru karet dianggap sebagai senjata non-matian, risiko serius tetap ada jika digunakan dengan tidak tepat atau ke bagian tubuh vital. Peluru tajam, di sisi lain, hanya digunakan dalam situasi darurat karena potensi fatalitas yang tinggi. Perbedaan antara keduanya terletak pada bahan, kekuatan tembak, dan potensi fatalitas, yang membuat penggunaan keduanya harus dipertimbangkan dengan matang untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan.