Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendorong para pemuka agama di Indonesia untuk aktif dalam membangun kesadaran ekologis di tengah masyarakat. Menyadari bahwa krisis iklim memberikan ancaman yang nyata, MUI mengangkat isu pelestarian lingkungan sebagai bagian dari ibadah. Ketua MUI Bidang Kesehatan dan Lingkungan, Sodikun, menegaskan bahwa merusak hutan sama artinya dengan merusak masa depan generasi berikutnya.
Dalam rangka memperkuat kesadaran tersebut, Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH SDA) MUI menyelenggarakan pembekalan bagi para pemuka agama. Program ini bertema ‘Memadukan Sains dan Spiritualitas: Peran Pemuka Agama dalam Perlindungan Hutan dan Masyarakat Adat’, yang akan dijalankan di berbagai majelis agama di Indonesia.
Diskusi di MUI menyoroti kesadaran universal akan perlindungan lingkungan sebagai ajaran agama yang melarang kerusakan bumi. Menjaga alam secara seimbang dengan ajaran agama diharapkan dapat menciptakan solusi holistik bagi tantangan kerusakan lingkungan.
Fasilitator Nasional IRI Indonesia, Hayu Prabowo, menekankan pentingnya suara moral dalam menggerakkan perubahan perilaku terkait kerusakan hutan dan krisis iklim. Lebih dari 95 persen bencana di Indonesia terkait langsung dengan krisis iklim, semakin diperparah oleh deforestasi dan degradasi hutan.
Sementara itu, Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi, menyoroti diskriminasi dan perampasan wilayah terhadap masyarakat adat di Indonesia. Ia memandang RUU Masyarakat Adat sebagai solusi penting untuk menegaskan hak-hak masyarakat adat sebagai hak asasi manusia.
Dengan semangat kerjasama lintas agama, diharapkan pembekalan pemuka agama ini dapat memperkuat kapasitas analisis kebijakan dan menghasilkan kebijakan berbasis sains dan etika agama untuk kehidupan yang berkelanjutan. Pemuka agama memiliki peran yang penting dalam menjalankan ajaran agama agar lingkungan dan masyarakat dapat terlindungi dengan baik.
