RUU DKJ, yang diusulkan oleh DPR, telah disetujui. Salah satu pasalnya menyebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur Jakarta akan ditunjuk oleh presiden. Pasal ini telah menuai kritik dari banyak pihak karena dinilai sebagai upaya untuk mengerdilkan demokrasi.
Pasal 10 ayat 1 menyebutkan bahwa Provinsi DKJ dipimpin oleh gubernur dan dibantu oleh wakil gubernur. Ayat 2 menyatakan bahwa gubernur dan wakil gubernur akan ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan mempertimbangkan usul atau pendapat DPRD. Hal ini merupakan poin yang kontroversial dan dianggap sebagai upaya untuk merampas demokrasi.
Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi, pemilihan gubernur Jakarta yang diatur dalam RUU DKJ tidak sepenuhnya menghilangkan demokrasi. Baidowi menjelaskan bahwa meskipun gubernur ditunjuk oleh presiden, hal ini tidak berarti demokrasi hilang.
Ia juga menyinggung pemindahan ibu kota negara ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, yang tidak dapat dilakukan secara instan. Menurutnya, pemindahan ini memerlukan proses yang bertahap.
Baleg DPR telah menetapkan draf hasil penyusunan RUU DKJ. Beberapa fraksi setuju dengan draf tersebut, namun Fraksi PKS menolak karena dianggap terburu-buru. Fraksi PDIP, Fraksi Gerindra, Fraksi PPP, dan Fraksi Demokrat setuju dengan draf penyusunan RUU DKJ, sementara Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, dan Fraksi PAN menyatakan setuju dengan catatan.
Fraksi PKB menyetujui draf RUU DKJ namun memberikan catatan mengenai pemilihan gubernur, wali kota, yang harus melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Mereka berpendapat bahwa status baru Jakarta tidak boleh menghambat hak rakyat untuk memilih pimpinan daerah mereka secara demokratis.
Terlepas dari kontroversi yang muncul, RUU DKJ harus segera dibahas agar tidak terjadi kekosongan status administrasi Kota Jakarta. Oleh karena itu, pengaturan mengenai status Jakarta harus segera diatur untuk menghindari terjadinya permasalahan hukum.