Tuesday, November 11, 2025

Influencer Lokal Taiwan Ikut Sebarkan Narasi Pro-Beijing

Share

- Advertisement -

Pada masa kini, ancaman terhadap negara tidak lagi hanya berupa serangan fisik atau konflik militer terbuka. Dunia maya telah menjelma menjadi front baru, tempat opini publik bisa diarahkan secara sistematis dan demokrasi dilumpuhkan lewat serangan informasi yang terorganisir.

Salah satu hal yang membuat bahaya ini begitu rumit adalah keterlibatan aktor-aktor dari berbagai latar belakang—baik dari dalam negeri maupun luar negeri—membaur dan saling membantu menciptakan kerancuan tentang siapa sebenarnya dalang utama di balik setiap serangan.

Pemilu Taiwan 2020 menjadi contoh menonjol bagaimana dunia maya dipakai untuk campur tangan dalam mekanisme demokratis sebuah bangsa. Tiongkok, menurut berbagai laporan, diduga memanfaatkan operasi informasi yang terstruktur dan sangat canggih dengan memanfaatkan media pro-Beijing, serta menyebarkan narasi anti-demokrasi melalui berbagai platform.

Upaya manipulasi ini turut melibatkan banyak pihak, mulai dari media luar negeri yang berafiliasi dengan negara tertentu hingga konten-konten dangkal yang diproduksi massal oleh perusahaan-perusahaan content farming di Malaysia dan sejumlah negara Asia lainnya. Mereka berupaya memonopoli algoritma di jejaring sosial besar seperti Facebook dan YouTube. Akibatnya, pesan yang ingin didorong oleh Beijing tergenapi juga berkat keterlibatan influencer di Taiwan yang secara tidak sadar membantu menyebarkan narasi-narasi khusus.

Pesan yang digaungkan sangat konsisten selama masa kampanye: sistem demokrasi dicap sebagai sistem gagal, Presiden Tsai Ing-wen dituduh sebagai antek Amerika Serikat, sementara gejolak di Hong Kong dijadikan ilustrasi negatif agar pemilih takut pada demokrasi.

Serangan tak berhenti di situ. Melalui aplikasi pesan LINE, isu menakutkan tentang penyebaran pneumonia Wuhan bagi pemilih yang datang ke TPS makin memperkeruh suasana pilpres Taiwan. Cara-cara seperti ini menandakan adanya intervensi langsung ke dalam ruang demokrasi tanpa peluru, tanpa tank.

Aspek menarik lainnya adalah pengoperasian banyak serangan informasi tersebut ternyata tidak murni dilakukan militer atau pemerintah Tiongkok sendiri. Perusahaan-perusahaan hubungan masyarakat, pelaku usaha konten daring komersial, bahkan influencer media sosial lokal, turut menjadi pelaksana atas dasar keuntungan ekonomi.

Itulah sebabnya menjadi semakin sulit membedakan mana intervensi eksternal dan mana aksi internal, serta dimana batas antara sipil dan militer. Seperti pernah disampaikan Broto Wardoyo, pakar hubungan internasional, baik aktor negara maupun non-negara asing kini berpotensi menjadi pelaku intervensi siber—serangannya memang nyata, wujudnya hibrida, dan batasnya sering kali kabur.

Konsekuensi dari serangan semacam ini juga sangat membahayakan. Polarisasi di masyarakat kian dalam, ruang-ruang digital menjadi gema yang memperkuat prasangka kelompok, dan lenturnya isu memperlemah nilai-nilai demokrasi. Publik pun perlahan menaruh curiga pada demokrasi sembari digoda oleh propaganda otoritarianisme yang dianggap mampu membawa stabilitas.

Fenomena ini membuktikan bahwa kekuatan digital mampu melumpuhkan legitimasi politik tanpa kekerasan fisik—proses pengaruhnya nyaris tanpa jejak.

Situasi Taiwan harus menjadi peringatan bagi Indonesia, apalagi mengingat besarnya populasi pengguna internet di Tanah Air serta ketergantungan nyaris seluruh proses demokrasi pada komunikasi digital. Jika celah-celah seperti di Taiwan tidak diantisipasi, bukan tak mungkin ruang digital Indonesia kelak digunakan untuk membangun narasi yang memperdalam polarisasi, memecah belah publik, atau bahkan menyerang integrasi demokrasi.

Karena mudahnya aktor-aktor asing berpadu dengan pelaku lokal dalam mengaburkan isu, batas antara perkara domestik dan intervensi asing jadi semakin tipis. Penguatan literasi digital dan ketahanan siber menjadi keharusan agar Indonesia tidak menjadi target operasi serupa di masa depan. Menjaga kedaulatan digital artinya menjaga otoritas nasional sekaligus memastikan kualitas demokrasi tetap terjaga di era informasi global.

Sumber: Ancaman Siber Global: Operasi Informasi Asing, Kasus Taiwan 2020, Dan Tantangan Kedaulatan Negara Di Era Digital
Sumber: Ancaman Siber Makin Nyata! Aktor Non-Negara Ikut Guncang Politik Dunia

Baca Lainnya

Berita Terbaru