Saturday, July 19, 2025

Menganyam Persaudaraan Nusantara di Tubuh Semesta

Share

- Advertisement -

Di kaki Gunung Tangkuban Parahu yang diselimuti embun pagi, ribuan orang dari seluruh penjuru tanah air berhimpun dalam balutan busana adat Sunda, Dayak, Minahasa, Bali, serta ragam pakaian tradisional lainnya. Dengan penuh penghayatan, mereka menghadiri prosesi sakral Ngertakeun Bumi Lamba yang telah berjalan konsisten selama tujuh belas tahun, menegaskan pentingnya spiritualitas dan keterhubungan manusia serta alam semesta. Tradisi ini tidak sekadar ritual, melainkan bentuk nyata dari cinta kasih kepada bumi.

Suara karinding pelan dari Baduy merasuk dalam paduan angklung dan tabuhan Minahasa, membentuk simfoni rasa yang menembus sanubari. Di antara hening dedaunan, gema mantra dari para sulinggih Bali pun bersautan bagai untaian doa penghormatan kepada alam. Tak sebatas lantunan musik, harmoni ini mempererat urat batin peserta, mencairkan sekat antargolongan, menghadirkan suasana teduh di mana semua menunduk dalam satu kesadaran atas kekecilan dan keterhubungan terhadap leluhur serta bumi.

Inti dari Ngertakeun Bumi Lamba sendiri adalah menjaga, menyuburkan, dan merawat alam—sebuah pesan utama yang terus digaungkan. Upacara adat ini lahir dari kebijaksanaan Sunda Kuno, kemudian dihidupkan kembali di Gunung Tangkuban Parahu sebagai pengingat keterikatan manusia, alam, dan leluhur. Filosofinya, tak lain adalah menghidupkan rasa tanggung jawab akan bumi, menanamkan nilai luhur kepada generasi muda, serta menyalakan obor harmoni di setiap insan. Karenanya, ritual dimulai dengan ngaremokeun, pembersihan hati dan energi, lalu dilanjutkan persembahan doa serta ditutup ngalung di Kawah Ratu sebagai lambang syukur agung.

Dalam rangkaian acara yang penuh makna ini, tokoh adat dan nasional bergantian menegaskan pentingnya pewarisan nilai. Wiratno menyebut bahwa kemuliaan bangsa terasa ketika kekayaan budaya mampu diwariskan terus-menerus. Di lain pihak, Andy Utama dari Yayasan Paseban mengajak peserta untuk berbagi kasih, tidak saja kepada manusia, melainkan seluruh makhluk yang hidup dan tersembunyi di bumi. Pesan Andy Utama tegas untuk tak berhitung dengan alam, sembari mengingatkan betapa malangnya manusia jika bumi mulai ‘menghitung ulang’ balasannya. Seruan damai pun didengungkan—hentikan pertikaian, pilih kasih sayang.

Mayjen Rido menambahkan bahwa kehadiran semua adalah sebuah pengadilan batin, bukan sekadar seremoni. Sementara tokoh Dayak Pangalangok Jilah menekankan, “Alam tak butuh manusia, manusialah yang butuh alam.” Ia menyambut kebersamaan sebagai ikrar menjaga kehidupan. Pekikan “Taariu!” yang menggetarkan, dilantunkan dari kedalaman jiwa, menandai bersatunya niat dan janji bersama menjaga bumi sebagai amanah luhur. Begitupun tokoh Minahasa mengingatkan gunung sebagai penjaga masa depan, serta mengajak seluruh adat di nusantara bangkit bersama dalam napas Bhinneka Tunggal Ika.

Ritual ini bukan hanya perayaan budaya, melainkan pengingat agar tiga gunung suci—Tangkuban Parahu, Gunung Wayang, Gede Pangrango—harus dijaga sebagai pusat kekuatan spiritual ekosistem. Dody Baduy menegaskan dalam kalimat sederhana, “Gunung Teu Meunang Dilebur, Lebak Teu Meunang Dirusak,” mempertegas komitmen merawat alam.

Sesudah upacara selesai, getaran spiritual yang dibangkitkan tak pernah benar-benar padam. Setiap yang hadir membawa pulang penguatan ruh untuk memperbaiki arah hidup, menghidupkan nilai kasih sayang dan tanggung jawab menjaga bumi. Ngertakeun Bumi Lamba adalah panggilan batin yang terpatri bukan dalam batu, melainkan dalam tindakan sehari-hari—dalam langkah nyata, cinta yang menebar untuk sesama makhluk.

Maka siapa pun yang hadir dihari itu, membawa pulang lebih dari sekadar kenangan, mereka membawa amanah untuk menjaga, merawat ajaran leluhur. Amanah itu dibawa pulang, ditanam dalam keseharian, diterjemahkan dalam perilaku penghormatan across faiths, suku, serta budaya. Sebab, sebagaimana amanat Ngertakeun Bumi Lamba: bumi hanya benar-benar terjaga jika dihampiri oleh manusia yang menjaganya dengan kesadaran dan cinta tulus.

Di Megamendung, pada lereng Gunung Gede-Pangrango yang menjadi wilayah Yayasan Paseban, komunitas Arista Montana dan relawan membumikan filosofi Ngertakeun Bumi Lamba dalam kerja nyata. Yang dilakukan bukan sekadar hidup berdampingan dengan alam, melainkan membina relasi spiritual. Bersama Andy Utama dan Yayasan Paseban, Arista Montana telah melestarikan ribuan pohon puspa, damar, jampinang, bambu, dan lainnya—bukti nyata hasil perenungan dan implementasi semangat upacara adat bagi masa depan.

Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam

Baca Lainnya

Berita Terbaru