Pemerintah telah mengumumkan tambahan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), bersamaan dengan peningkatan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen untuk pembelian mobil. Menurut Riyanto, seorang Pengamat Otomotif dari LPEM Universitas Indonesia (UI), tambahan pajak tersebut dianggap akan memberatkan masyarakat dalam hal pengeluaran untuk membeli kendaraan bermotor. Sebelumnya, opsen pajak kendaraan bermotor untuk mobil sebesar 40 persen dari harga off the road, namun dengan tambahan opsen 66% dari PKB dan 66% dari BBNKB, total pajak mobil naik menjadi 48,9% dari harga off the road.
Dampak dari peningkatan pajak tersebut terlihat dalam kenaikan harga mobil, yang bisa mencapai 6,2 persen. Sebagai contoh, sebuah mobil baru yang sebelumnya dijual dengan harga Rp 200 juta sekarang bisa mencapai Rp 213 jutaan. Hal ini terjadi pada saat daya beli masyarakat masih belum pulih sepenuhnya. Berdasarkan perhitungan LPEM UI, dengan asumsi pemberlakuan opsen pajak di seluruh wilayah, tarif maksimum PKB 1,2%, dan BBNKB 12%, penjualan mobil secara nasional diprediksi akan turun 9,3% dari sekitar 865 ribu unit di 2024 menjadi sekitar 780 ribu unit pada 2025.
Riyanto mengungkapkan bahwa opsen PKB dan BBNKB seharusnya dapat ditunda atau bahkan dibatalkan oleh pemerintah RI. Saat ini, sudah ada 25 provinsi yang belum menerapkan opsen pajak tersebut dan regulasi terkait telah diterbitkan oleh pihak DPRD. Keputusan ini diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap kelangsungan industri otomotif nasional. Pemerintah perlu memperhatikan kondisi tersebut, karena perbedaan penerapan opsen pajak antar daerah dapat berdampak pada potensi pendapatan pajak daerah. Artinya, pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat dalam kebijakan yang diambil.