Pada tanggal 10 November 1945, selama sepuluh hari berikutnya, rakyat Surabaya terlibat dalam pertempuran sengit di sekitar Surabaya, yang sekarang dikenal sebagai Kota Pahlawan.
Ketika seseorang membaca kisah sejarah dari hari-hari itu, seseorang tidak bisa tidak kagum dan bangga.
Pada awal berdirinya Republik, ketika Indonesia masih kekurangan persenjataan, rakyat, terutama para pemuda arek-arek Suroboyo, memilih untuk tidak tunduk pada ancaman dan ultimatum yang dikeluarkan oleh pemenang Perang Dunia II.
Saat itu, Pasukan Inggris memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Jika, dalam waktu 24 jam, para pemuda Surabaya tidak meletakkan senjata mereka dan meninggalkan kota, Pasukan Inggris akan meratakannya dengan kekuatan yang melimpah dari tank, kapal perang, dan pesawat terbang mereka.
Kita dapat membayangkan bobot pernyataan tersebut. Ultimatum ini diberikan oleh tentara yang baru saja memenangkan Perang Dunia II. Namun, nenek moyang kita, dalam usia yang sangat muda, menolak untuk terintimidasi. Mereka bahkan tidak bergeming. Mereka menolak ultimatum yang sombong itu.
Sebaliknya, mereka berteriak ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau Mati’. Mereka memilih untuk melawan Pasukan Inggris daripada menyerah dan tunduk di hadapan mereka.
Arek-arek Suroboyo, pemuda-pemuda Surabaya, benar-benar layak mendapat penghormatan dan rasa hormat kita. Negara-negara yang mencemooh kita sebagai lemah, ketinggalan zaman, dan malas, menyaksikan bagaimana orang Indonesia tidak merunduk pada ancaman, intimidasi, dan kekuatan bersenjata asing.
Pada tanggal 10 November dan hari-hari yang menyusul, Pasukan Inggris menggempur Surabaya dari segala arah. Akibatnya, puluhan ribu orang Indonesia kehilangan nyawa. Salah satu perkiraan menempatkan kerugian tersebut lebih dari 40.000 jiwa. Namun arek-arek Suroboyo, pejuang-pejuang kita, menolak untuk menyerah, meskipun mereka menderita banyak korban. Bahkan ketika mayat-mayat berserakan di jalan-jalan dan parit-parit serta sungai-sungai berubah menjadi merah dari darah. Di Surabaya, pejuang-pejuang kita, pemuda-pemuda kita, didukung oleh seluruh rakyat Surabaya, terus berjuang dengan penuh keberanian di tengah hujan peluru dan hujan artileri berat.
Dalam pertempuran ini, selain Gubernur Suryo, yang kisahnya telah saya ceritakan sebelumnya, dan Hario Kecik, yang akan saya ceritakan, Bung Tomo menjadi tokoh sentral dan berpengaruh yang memimpin dari garis depan pertempuran.
Soetomo, atau Bung Tomo seperti banyak yang menyebutnya dengan penuh kasih, lahir di Surabaya pada tahun 1920. Di masa mudanya, ia adalah seorang jurnalis lepas dengan harian Soeara Oemoem, harian Ekspres, mingguan Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.
Pada tahun 1944, ia dipilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru dan administrator Pemuda Republik Indonesia di Surabaya. Selain itu, pada Oktober 1945, Bung Tomo juga memimpin Front Perlawanan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Inilah asal usul keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November. Dengan posisinya, ia bisa mengakses stasiun radio yang memainkan peran penting dalam menyiarkan pidato kerasnya yang membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang dan mempertahankan Surabaya.
Kualitas kepemimpinan Bung Tomo dapat kita lihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI (Radio Republik Indonesia) Surabaya pada November 1945. Konon, pidato ini bahkan disiarkan secara terus-menerus, dan tidak berhenti sampai para pemuda Surabaya meraih kemenangan melawan Pasukan Sekutu:
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah, Merdeka!!!
Saudara-saudara sebangsa dan setanah air di mana-mana di Indonesia, terutama rakyat Surabaya. Kita semua tahu, hari ini Pasukan Bersenjata Inggris telah menyebarkan pamflet dengan ancaman kepada kita semua.
Sebelum batas waktu yang mereka tetapkan, kita diperintahkan untuk menyerahkan senjata yang telah kita rampas dari Pasukan Jepang. Mereka telah memerintahkan kita untuk mendatangi mereka dengan tangan terangkat.
Mereka memerintahkan kita untuk menghampiri mereka dengan bendera putih; untuk menunjukkan bahwa kita telah menyerah kepada mereka.
Saudara-saudara, dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, kita telah menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia Surabaya, pemuda-pemuda Maluku, pemuda-pemuda Sulawesi, pemuda-pemuda Bali, pemuda-pemuda Kalimantan, pemuda-pemuda Sumatra, pemuda-pemuda Aceh, pemuda-pemuda Tapanuli, dan pemuda-pemuda Surabaya sendiri, di pasukan masing-masing, dengan tentara rakyat yang terbentuk di desa-desa, mereka telah membangun pertahanan yang tak tergoyahkan. Mereka telah menunjukkan kekuatan yang mampu menghalau musuh dari segala penjuru.
Saudara-saudara, musuh kita telah menggunakan taktik kelicikan. Mereka mengundang Presiden kita dan pimpinan lain ke Surabaya, mengharapkan kita tunduk dan meninggalkan perjuangan kita. Tetapi di saat yang sama, mereka memperkuat kekuatan mereka. Dan sekarang, inilah yang terjadi.
Saudara-saudara. Kita semua, orang-orang Indonesia Surabaya, akan menerima tantangan Pasukan Inggris ini. Dan jika pemimpin Pasukan Inggris di Surabaya ingin mendengar jawaban rakyat Indonesia, jawaban pemuda Surabaya, dengarkan dengan seksama.
Ini adalah jawaban kita. Ini adalah jawaban rakyat Surabaya. Ini adalah jawaban pemuda-pemuda Indonesia kepada kalian!
Hai, Pasukan Inggris! Kalian perintahkan kita untuk membawa bendera putih dan menyerah kepada kalian. Kalian memberi kami perintah untuk membentuk satu barisan dan mengangkat tangan kami di hadapan kalian. Kalian perintahkan kami meletakkan senjata yang kami rampas dari Pasukan Jepang dan menyerahkannya kepada kalian.
Kalian memberitahu kami bahwa kalian akan menghancurkan kami dengan seluruh kekuatan militer kalian jika ultimatum kalian tidak dipenuhi. Inilah jawaban kami:
Selama kita, kerbau-kerbau Indonesia, masih memiliki darah merah di dalam diri kita yang dapat kita gunakan untuk menciptakan sepotong kain putih dan merah, kita tidak akan menyerah. Kami menolak menyerah kepada siapa pun. Rakyat Surabaya, bersiaplah untuk situasi yang tak menentu ini! Tetapi saya peringatkan kalian sekali lagi: Jangan memulai menembak. Hanya saat kita ditembak, kita akan membalas menembak. Kami akan menunjukkan kepada mereka bahwa kita benar-benar rakyat yang merdeka.
Dan bagi kita semua, saudara-saudara, kita lebih baik dihancurkan daripada dijajah. Motto kita tetap: Merdeka atau Mati! Untuk merdeka atau mati!
Dan kita memiliki keyakinan bahwa, pada akhirnya, kemenangan akan menjadi milik kita, karena Allah bersama kita. Percayalah, saudara-saudara. Allah akan melindungi kita semua. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!”
— Dari Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]