REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef), lembaga kajian ekonomi, mengeluarkan kajian tentang refleksi Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni dan hubungannya dengan pemenuhan keadilan ekonomi bagi bangsa Indonesia. Para ekonom dari Indef menyoroti masalah ketidakadilan sosial dan ekonomi yang semakin buruk.
Ekonom senior Indef, Didin S. Damanhuri, menekankan pentingnya amanat pada sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam merenungkan Hari Lahir Pancasila. Menurut analisisnya, terdapat ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia, meskipun negara ini telah merdeka hampir delapan dekade.
“Jika dilihat dari data, masalah terbesar terdapat pada ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semakin buruk dalam 10 tahun terakhir,” kata Didin dalam diskusi publik berjudul ‘Hari Lahir Pancasila: Ekonomi Sudah Adil untuk Semua?’ yang dilakukan secara daring pada Selasa (4/6/2024).
Didin menjelaskan bahwa pandangan tersebut didukung oleh data makro, yang menunjukkan ketidakadilan antar golongan pendapatan dalam tiga ukuran atau indikator, yaitu ketidakadilan antargenerasi, antarwilayah, dan antarsektor.
Menyoroti ketidakadilan antargenerasi, Didin menekankan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan tingginya jumlah pengangguran dari kalangan generasi Z. Hal ini juga terkait dengan kontroversi tentang uang kuliah tunggal (UKT) yang baru-baru ini mencuat dan menuai protes dari publik.
“Baru-baru ini BPS merilis data yang mencengangkan bahwa ada 10 juta generasi Z yang tidak bersekolah dan tidak bekerja. Pertanyaannya, di mana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama 10 tahun terakhir ini? Ini sangat menusuk perasaan keadilan bagi generasi milenial dan generasi Z,” ujar Didin.
Selain itu, dalam konteks ketidakadilan antar wilayah, meskipun otonomi daerah sudah dimulai sejak 2004, masih terdapat ketidakadilan. Didin juga menyoroti anggaran pendidikan yang mencapai ratusan triliun yang arahnya masih ambigu, terutama untuk pendidikan di daerah. Lebih lanjut, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa biaya pendidikan akan naik lagi tahun depan.
Didin juga mengkritisi ketidakadilan antar sektor, terutama sektor timah dan nikel yang kondisinya jauh berbeda dengan sektor lain, seperti sektor agromaritim (perikanan, kelautan, dan pertanian).
“Di sektor timah saja, baru-baru ini kita dengar bahwa kerugian negara akibat korupsi timah mencapai Rp 300 triliun, itu hanya dari satu sektor. Namun, jauh berbeda dengan sektor lain, buruh di sektor itu lebih sejahtera dibandingkan nelayan, misalnya. Jadi ketidakadilan antar sektor agromaritim dengan tambang sangat mencolok namun hasilnya direbut besar-besaran,” ujar Didin.
“Belum lagi setelah masalah timah terungkap, saya rasa akan banyak lagi yang terungkap, seperti di sektor nikel yang juga terjadi besar-besaran,” tambahnya.