Sunday, April 27, 2025

Mengenal Sindrom Cornelia, Kelainan Genetik Langka Pada Bayi Baru Lahir – Sehat Negeriku

Share

Jakarta, 27 Mei 2024
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono melakukan audiensi dengan Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia (YSCI) di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, pada hari Senin (27/5). Audiensi tersebut membahas tentang dukungan, pelayanan, dan intervensi terhadap anak-anak dengan Sindrom Cornelia atau Cornelia de Lange Syndrome (CdLS) di Indonesia.

Sindrom Cornelia merupakan salah satu penyakit langka yang terjadi pada bayi yang baru lahir. Kelainan ini disebabkan oleh mutasi genetik pada setidaknya 5 gen, yaitu NIPBL, SMC3, RAD21, SMC1A, HDAC8, yang terjadi selama proses pembuahan di dalam kandungan.

Kondisi langka ini hanya terjadi pada 1 dari 30.000 kelahiran. Di Indonesia, diperkirakan jumlah pengidap Sindrom Cornelia mencapai 160 orang.

Anak-anak dengan Sindrom Cornelia memiliki ciri fisik yang khas, seperti alis tebal melengkung yang bertemu di tengah, lingkar kepala kecil, malformasi tangan dan lengan, pertumbuhan bulu yang berlebihan di sekitar wajah, dahi, dan punggung, serta lahir dengan berat badan rendah.

Selain itu, ciri-ciri lainnya meliputi hidung pendek, bibir kecil, dan sumbing. Beberapa anak dengan Sindrom Cornelia juga dapat mengalami kekurangan atau kelebihan jari, kehilangan lengan bagian bawah, serta tangan dan kaki yang sangat kecil dengan jari yang pendek.

Beberapa kasus juga melibatkan kelainan pada organ tubuh seperti kejang, cacat jantung, gangguan pernapasan, gangguan pendengaran, dan rabun jauh. Beberapa anak dengan Sindrom Cornelia juga mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik dan kognitif, dengan rentang IQ antara 30 hingga 102.

Meskipun tidak semua anak dengan Sindrom Cornelia mengalami semua gejala tersebut, gejala tersebut tergantung pada variasi dan tingkat keparahan penyakit.

Kelainan ini tidak diturunkan dan tidak menular, sehingga dapat terjadi pada siapa saja tanpa riwayat kelainan genetik dalam keluarga.

Hingga saat ini, penyebab pasti Sindrom Cornelia belum diketahui dan diagnosis biasanya didasarkan pada gejala klinis, yang dapat menyebabkan keterlambatan penanganan.

Menyadari hal ini, Wakil Menteri Kesehatan Dante menekankan pentingnya pengobatan yang cepat dan tepat bagi anak-anak dengan Sindrom Cornelia. Angka harapan hidup anak-anak dengan CdLS umumnya lebih rendah daripada anak normal, namun dengan pengobatan yang tepat dan kolaborasi lintas sektor, harapan hidup mereka dapat ditingkatkan.

Wakil Menteri Kesehatan Dante juga menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Kesehatan akan bekerja sama dengan YSCI untuk menyediakan akses pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi anak-anak dengan Sindrom Cornelia. Salah satu program yang didorong adalah pemeriksaan genetik dengan teknologi sequencing untuk mendeteksi kemungkinan anak mengidap Sindrom Cornelia sejak dini.

Selain itu, vaksinasi tambahan dan dukungan dalam pembiayaan BPJS Kesehatan juga akan diperkuat untuk mendukung penanganan Sindrom Cornelia di Indonesia.

Ketua Yayasan Sindrom Cornelia Indonesia, Koko Prabu, yang juga merupakan orang tua dari anak dengan Sindrom Cornelia, mengatakan bahwa pertemuan ini merupakan langkah awal yang baik bagi anak-anak dengan penyakit ini untuk mendapatkan dukungan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Diharapkan, angka harapan hidup anak-anak dengan Sindrom Cornelia dapat meningkat seperti anak-anak normal.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes di 1500-567, SMS ke 081281562620, atau melalui email [email protected].

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik
dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid

Source link

Baca Lainnya

Berita Terbaru