Monday, December 9, 2024

Babak baru upaya negara melawan OPM

Share

Jakarta (ANTARA) – “Apa yang dilakukan oleh OPM adalah pelanggaran HAM berat,” kata Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto di Jakarta, Rabu (10/3).

Pernyataan tegas Panglima TNI ini menandai dimulainya babak baru dalam upaya penumpasan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Perubahan penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi OPM oleh Pemerintah menunjukkan keseriusan negara dalam upaya memberantas kelompok bersenjata ini.

Pada Rapat Koordinasi Kementerian Polhukam pada 29 April 2021, disepakati untuk menyebut OPM sebagai KKB atau Kelompok Separatis Teroris (KST). Namun, pada tanggal 5 April 2024, TNI kembali menggunakan status dan penyebutan KKB menjadi OPM.

TNI tidak dapat lagi mentolerir tindakan yang dilakukan oleh OPM karena mereka tidak hanya menargetkan anggota TNI dan Polri, tetapi juga warga sipil.

Bahkan, di beberapa tempat, Agus menyebut OPM juga melakukan pemerkosaan terhadap beberapa guru dan tenaga kesehatan di pedalaman.

Tindakan anggota OPM semakin keji, tanpa ampun, bahkan tidak menyadari bahwa yang mereka serang adalah saudara sebangsa.

Oleh karena itu, TNI menegaskan bahwa negara tidak akan kalah dengan OPM.

Sejak saat itu, TNI dan Polri bergabung dalam Satgas Damai Cartenz untuk memburu para pemberontak tersebut.

Pada tanggal 11 Maret 2024, Satgas Damai Cartenz berhasil melumpuhkan dua anggota aktif OPM di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, yaitu jaringan Kopi Tua Heluka dan Yotam Bugiangge.

Dua orang yang dilumpuhkan adalah Afrika Heluka dan Toni Wetapo alias Toni Giban. Selain itu, Satgas juga berhasil menangkap enam anggota OPM di lokasi tersebut.

Eskalasi penindakan yang dilakukan oleh TNI dan Polri semakin meningkat saat salah satu personel terbaik TNI, yaitu Danramil 1703-04 Aradide Letda Inf. Oktovianus Sogalrey, gugur akibat dibunuh oleh anggota OPM.

Bahkan, salah satu anggota OPM merekam aksi kekerasan terhadap Oktovianus, dan video tersebut sempat beredar di media sosial.

Diduga, kelompok OPM Panai menjadi dalang di balik aksi brutal tersebut. Sejak saat itu, pengejaran terhadap kelompok OPM semakin gencar dilakukan oleh TNI dan Polri.

“Apa yang dilakukan oleh OPM adalah pelanggaran HAM berat,” kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Nugraha Gumilar.

Pada saat yang sama, Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Hadi Tjahjanto pun melihat masalah ini sebagai sesuatu yang serius.

Oleh karena itu, ia memanggil Panglima TNI dan Kapolri untuk rapat tertutup di kantor Menko Polhukam guna membahas strategi penindakan terhadap OPM.

Peningkatan intensitas penanganan terhadap OPM sudah menjadi keharusan bagi TNI dan Polri.

Penyempurnaan strategi dan penguatan perlindungan masyarakat sipil di Papua harus menjadi prioritas yang dilakukan.

Namun, semua upaya tersebut hanya akan berhasil jika koordinasi antara TNI dan Polri diperkuat terlebih dahulu.

“Sinergi TNI-Polri sudah menjadi tuntutan yang harus dilakukan di Papua karena OPM telah menyatakan perang terbuka,” kata analis intelijen, pertahanan, dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro.

Penguatan koordinasi dapat dilakukan dengan memperkuat peran masing-masing lembaga dalam menangani OPM.

Setiap lembaga harus memiliki peran yang berkesinambungan sehingga penanganan dari awal hingga akhir bisa dilakukan secara maksimal.

Pembagian peran tersebut contohnya dengan memberikan tugas pengamanan masyarakat dan evakuasi oleh Polri, sedangkan pengamanan wilayah dan pengejaran OPM bisa dilakukan oleh TNI melalui pasukan darat.

Selain itu, pihak intelijen sebagai salah satu sumber informasi yang akurat harus dimanfaatkan dengan baik oleh negara. TNI dapat menggunakan data intelijen untuk merencanakan strategi pengejaran dan penangkapan terhadap OPM.

Namun, langkah dasar yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah penguatan kualitas sumber daya manusia (SDM) personel.

Bukan hanya dari segi kecerdasan, namun juga dari segi fisik harus diperkuat, mengingat medan yang ekstrem di Papua.

Dengan penguasaan medan dan taktik yang tepat, TNI diyakini mampu menyelesaikan tugas di lapangan.

Dukungan politik juga diperlukan dalam upaya menumpas OPM. Segala tindakan TNI dan Polri harus berlandaskan pada instruksi presiden sebagai panglima tertinggi.

Oleh karena itu, diperlukan keputusan politik yang kuat sebagai dasar bagi penegak hukum dalam menindak OPM.

“Pengawasan operasi militer selain perang (OMSP) TNI di Papua masih akan berlangsung seperti sebelumnya selama tidak ada perubahan kebijakan dan keputusan negara,” kata pengamat militer dan Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.

Kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang penumpasan OPM dapat menjadi dasar bagi keputusan politik di DPR untuk melakukan tindakan tegas.

Dengan landasan politik itu, TNI-Polri bisa menjalankan tugas mereka tanpa harus khawatir tentang tuduhan pelanggaran HAM.

Sinergi antara legislatif dan eksekutif sangat penting untuk mendukung para pelaku di lapangan.

Dukungan politik juga terlihat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketua MPR Bambang Soesatyo mendukung penuh upaya TNI dalam mengambil langkah tegas terhadap OPM.

Keamanan dan keselamatan masyarakat Papua harus menjadi prioritas negara. Segala upaya yang mengancam kedaulatan NKRI dan keselamatan masyarakat harus ditindak.

“Tindakan tegas harus dilakukan aparat untuk menunjukkan bahwa negara tidak akan kalah dengan kelompok separatis yang jauh lebih kecil dari TNI dan Polri,” kata Bambang.

Pernyataan Bambang itu memberikan dorongan kepada para politikus di Senayan untuk mendukung langkah konkret TNI-Polri dalam menumpas OPM.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga secara terang-terangan mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh OPM, terutama terhadap perempuan dan anak-anak, serta kematian Danramil Oktovianus Sogalrey.

Semua bentuk kekerasan terhadap aparat dan masyarakat sipil harus diusut tuntas dan transparan.

Komnas HAM mencatat beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Papua antara Maret hingga April 2024.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro merinci beberapa kejadian, seperti kontak tembak antara aparat gabungan TNI-Polri dengan Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) di Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya (1/3); penembakan dua prajurit TNI yang diduga dilakukan oleh KSB di Kulirik, Puncak Jaya (17/3); penembakan satu anggota Satgas Kostrad Yonif Raider 323/BP yang diduga dilakukan KSB di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak (22/3).

Selain itu, penembakan yang diduga dilakukan oleh KSB terhadap dua anggota Polri saat berjaga di helipad di Kabupaten Paniai pada 20 Maret.

Pada 5 April 2024, dua perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh sekelompok orang di Distrik Nabire, Kabupaten Nabire.

Meskipun OPM telah melakukan berbagai tindakan kekerasan terhadap aparat dan warga sipil, Komnas HAM tetap berharap bahwa Pemerintah akan menggunakan pendekatan yang terukur untuk menangani OPM.

Pendekatan ini mencakup penanganan kekuatan kekerasan yang berlebihan oleh negara.

Menurut Atnike, penggunaan kekerasan berlebihan juga bisa mengakibatkan pelanggaran HAM. Hal ini dapat memperpanjang konflik dan mempersulit penyelesaiannya.

Maka dari itu, Komnas HAM lebih memilih jalur lain untuk menuntaskan konflik dengan membangun infrastruktur yang merata di Papua.

Pemerintah harus menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan pengembangan ekonomi lokal bagi masyarakat Papua.

Dengan langkah konkret tersebut, kesenjangan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan antara masyarakat Papua dengan masyarakat di daerah lain bisa diperkecil.

Source link

Baca Lainnya

Berita Terbaru