Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi global pertama tentang kecerdasan buatan. Resolusi ini mengajak negara-negara untuk melindungi hak asasi manusia, menjaga data pribadi, dan memantau risiko penggunaan kecerdasan buatan. Resolusi tersebut diusulkan oleh Amerika Serikat, didukung oleh China, dan 122 negara lainnya. Proses negosiasi dan perundingan substansi resolusi ini memakan waktu tiga bulan. Tujuan utama resolusi ini adalah memperkuat kebijakan privasi.
Dalam sambutannya, Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield menyatakan bahwa seluruh anggota Majelis Umum PBB telah sepakat untuk mengatur kecerdasan buatan demi melindungi hak asasi manusia. Resolusi ini menjadi langkah penting mengingat kekhawatiran akan dampak negatif kecerdasan buatan terhadap demokrasi, keamanan, dan ketenagakerjaan.
Pada bulan November 2023, AS, Inggris, dan lebih dari selusin negara lain telah meluncurkan perjanjian internasional pertama mengenai keamanan kecerdasan buatan. Eropa telah mengadopsi kesepakatan regulasi sementara terkait kecerdasan buatan, sementara pemerintahan AS masih berjuang untuk menetapkan regulasi yang jelas.
Meski demikian, upaya terus dilakukan untuk mengurangi risiko kecerdasan buatan terhadap masyarakat. Diskusi aktif dilakukan dengan berbagai negara, termasuk China, Rusia, dan Kuba. China dan Rusia sendiri juga aktif mengembangkan teknologi kecerdasan buatan untuk kepentingan mereka.
Dengan adanya resolusi global pertama ini, diharapkan mampu menciptakan keseimbangan antara pengembangan teknologi kecerdasan buatan dan perlindungan hak asasi manusia.